Jumat, 06 Mei 2011

PROFIL RAJA DAN PEJUANG

Judul: Profil Raja dan Pejuang Sulawesi Selatan
Penulis : Zainuddin Tika, H. Hannabi Rizal, M. Ridwan Syam
Penerbit : Pustaka Refleksi

Sulawesi Selatan dulunya terdiri dari beberapa kerajaan, diantaranya Kerajaan Gowa, Bone, Luwu, Wajo, Soppeng, Mandar, Toraja dan Massenrempulu. Dalam struktur pemerintahan nya, masing-masing memunyai Raja mulai dari awal abad Tumanurunga hingga pasca kemerdekaan. Dari sekian banyak raja yang pernah berkuasa, ada beberapa Raja diantaranya yang sempat terekam dalam sejarah, dan kini menjadi topic pembahasan dalam buku ini. Mereka itu diantaranya adalah, Sultan Hasanuddin dari Kerajaan Gowa, Sultan Adam dari Kerajaan Bone, La Maddukelleng dari Kerajaan Wajo, BeoWe dari Kerajaan Soppeng, Pongtiku dari Tana Toraja, Lasinrang dari Kerajaan Sawitto (Pinrang). Andi Jemma dari Luwu, Ibu Depu dari Kerajaaan Mandar, dan semua Kabupaten di Sulawesi Selatan termasuk Sulawesi Barat.


Disamping itu pula, dalam buku ini dilengkapi dengan profil para Tubarani dan juga pejuang kemerdekaan dari semua daerah di kabupaten di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Mereka antara lain adalah: I Manindori Karaeng Galesong, Karaeng Bontomarannu, I Fatimah daeng Takontu dari Gowa, Andi Pengeranbg Patterani, Andi Mattalatta, Wolter Mongisidi dari Makasar. Ranggong daeng Romo, Pajonga Daeng Ngalle, HM Yasin Limpo dari Takalar. Karaeng Binamu dari Jeneponto. Karaeng Mannapiang dari bantaeng. Andi Sultan daeng Raja dari Bulukumba, Aroeppala dari Selayar. Baso Kalaka dari Sinjai. Karaeng Loe ri Paker dari Maros. La Maruddani dan Samenggu Daeng Kelebu dari Pangkep. Puangri Bulu Puang ri Cempa dari Barru. Andi Abdullah bau Massepe dari Pare-pare. Andi Makkasau dari Suppe. AR Malaka Pejuang Genggawa dari Sidrap. Andi baso Pagilingi dari Bone. Latenri Laik dari Wajo. Andi Tadda dari Luwu. Dan masih banyak pejuang-pejuang lainnya yang dirangkum dalam sebuah tulisan dalam buku ini.*

Selengkapnya......

MALINO BERDARAH

Judul: MALINO BERDARAH
Penulis: Zainuddin Tika, M. Ridwan Syam
Penerbit: Pustaka Refleksi

Hari itu, 18 Desember 1946, pasukan belanda memuntahkan peluru, jerit tangis menggema dimana-ana. Bagi para pemuda di Malino, peruatan biadab Belanda, paling tidak harus dibayar dengan darah. Merewka bersatu mengangkat senjata dan membuat strategi di empat penjuru untuk mengepung markas belanda. Mulai dari Limbua, Buluttana, Gantarang dan Tombolopao. Akhirnya markas belanda di Malino berhasil diporak-porandakan, termasuk markas KNIL di kota Malino. Setelah bala bantuan tentara belanda datang dari Makassar, mereka lalu menyerang secara membabibuta, baik kepada pemuda pejuang maupun penduduk yang tidak berdosa. Peristiwa penyerangan saat itu kemudian lebih dikenal dengan nama Malino berdarah.
Sebelum terjadi peristiwa yang mengerikan itu, Belanda yang berniat untuk menjajah kembali bangsa Indonesia, mengambil hati rakyat Indonesia. Mereka mendatangi seluruh rakrat dipelosok desa, seperti halnya yang dilakukan oleh Mr Westof yang saat itu menjadi Tuan Petooro atau residen di Malino. Kedatangannya ke Tombolo Pao untuk membagi-bagikan pakaian kepada warga desa, agar mereka lebih simpatik pada belanda. Namun para pejuang sudah tidak percaya lagi pada belanda, mereka ingin merdeka, terbebas dari belenggu penjajahan.
Sikap pemuda demikian, ingin mengenyahkan orang-orang belanda di bumi Sulawesi. Ketika Tuan Wes stof dalam perjalanan pulang dari Tombolo Pao menuju Makassar, ketika sampai di sebuah lokasi yang tidak berpenghuni yang disebut kampung Kanre Apia,, para pejuang menghadang di tengah jalan. Rombongan pemuda itu dipimpin oleh Karaeng Pado, langsung menghadang uan Wesstof dan menancapkan keris pusakanya ditubuh Mr Wes stof berkali-kali hingga akhirnya Tuan Petoro menemui ajalnya.
H. Abd rauf Daeng Nompo Karaen Parigi, salah seorang saksi sejarah mengatakan, setelah pengepungan markas KNIL di Malino, datanglah bantuan tentara belanda dar Makassar dan Sungguminasa. Mereka lalu mencari pemuda di sekitar kota Malino. Setiap pemuda yang dijumpai, mereka langsung digiring ke suatu tempat, lalu disirami peluruh, hingga mereka menemui ajalnya. Dalam peristiwa itu, lebih 100 orang pejuang dan rakyat yang tidak berdosa menjadi korban keganasan Belanda. Para pejuang yang jadi korban, adalah ayah Abd Rauf Dg Nompo bernama Sulaeman Daeng Jarung , Mappatangka Daeng Rani, Andi Mangeurangi, R. Endang, Karaeng Pado, Andi Baso Makkumpella , Colleng Dg Ngalle dan masih banyak lainnya.*

Selengkapnya......

SILARIANG

Judul: SILARIANG
Penulis: Zainuddin Tika, M. Ridwan Syam
Penerbit: Pustaka Refleksi

Silariangatau kawin lari, tidak hanya dikenal bagi suku bugi, Makassar, Mandar dan Toraja di Sulawesi Selatan, juga suku-suku lainnya di Indonesia, namun yang membedakan adalah sanksi adat yang diterapkan pada pelaku silariang. Tidak sedikit pelaku silariang, bak itu laki-laki maupun perempuan mati di ujung badik yang dilakukan oleh pihak keluarga perempuan yang disebut Tumasiri.
Banyak factor orang melakukan silariang. Utamanya bagi muda mudi, diantaranya, pihak keluarga tidak merestui hubungan mereka berdua, mungkin karena adanya perbedaan strata sosial atau karena wanita yang menjadi kekasihnya itu hamil diluar nikah. Dalam kondisi demikian, mereka mengambil jalan pintas dengan melakukan silariang, walau harus berhadapan dengan resiko yang mungkin timbul padanya.

Penegakan siri bagi suku Makassar itu memang suatu keharusan. Tujuannya adalah, agar anak-anak mereka tidak larut dalam pergaulan bebas, seperti yang banyak terjadi di era modern ini. Para orang tua menginginkan, anaknya bisa kawin sesuai yang diinginkan oleh agama, adat dan peraturan pemerintah.
Bila ada orang tua atau angota keluarganya melihat anaknya melakukan silariang, tanpa mereka mengambil tindakan, padahal perbuatan memalukan itu didepan matanya, maka orang tua atau keluarga yang bersangkutan dicap olehmasyarakat sebagai pengecut yang dalam bahasa Makassar disebut Ballorang atau banci (kawe-kawe).
Walau pelaku kawin silariang ini sangat dibenci oleh pihak keluarga perempuan, karena dianggap merendahkan harga diri dan martabatnya, sebagai akibat perbuatan anaknya, akan tetapi bila mereka sudah ada yang namanya acara berdamai yang dalam bahasa Makassar disebut Abbaji, maka kedua pelaku silariang ini, tadinya sangat dibenci dan nyawanya selalu terancam, maka setelah acara abbaji, sifat benci dari anggota keluarga ini berubah total menjadi penyayang, bahkan kedua pelaku itu diangap sebagai anaknya sendiri.
Seiring dengan penegakan siri na pace bagi suku Bugis Makassar terhadap kasus silariang, kini mengalami pergeseran nilai, terutama di daerah perkotaan yang sudah terkontaminasi dengan budaya luar. Bermesraan bagi muda-mudi tadinya dianggap tabu, kini sudah dianggap biasa-biasa saja, Akibat pergeseran nilai itulah, banyak masyarakat utamanya muda-mudi yang sudah kehilangan harga diri atau siri, perbuatan mereka identik dengan binatang. Terbukti, banyak diantara mereka melakukan hubungan seks diluar nikah alias kumpul kebo. Ini terjadi karena nilai budaya siri’na pacce sudah tidak melekat lagi padanya.
Dalam buku ini juga idbahas berbagai jenis silariang, yakni: Silariang berarti bilamana kedua pelaku silariang itu (laki-laki dan wanita) sepakat untuk kawin lari. NIlariang, yakni, kalau niat untuk kawin lari datangnya dari pihak laki-laki, maka perempuan dalam hal ini dipaksa atau dilakukan dengan tipu daya agar sang perempuan itu mengikuti kemauan si laki-laki itu. Nilari, berarti bilamana kehendak untuk kawin lari datangnya dari pihak perempuan. Pihak perempuan dengan kemauan sendiri lari ke rumah imam atau penghulu, lalu disana mereka lalu menunjuk laki-laki yang bertanggung jawab atas kehamilannya. Keempat adalah salimara berarti, suatu hubungan perkawinan yang sangat terlarang, karena hubungan darah terlalu dekat, misalnya antara ayah dengan anak gadisnya, antara sesame bersaudara sekandung, kalau ini terjadi maka kedua pelakunya ditenggelamkan di sungai dengan cara mengikatkan batu pada pelaku . Ini yang disebut Niladung.

Selengkapnya......