Jumat, 06 Mei 2011

SILARIANG

Judul: SILARIANG
Penulis: Zainuddin Tika, M. Ridwan Syam
Penerbit: Pustaka Refleksi

Silariangatau kawin lari, tidak hanya dikenal bagi suku bugi, Makassar, Mandar dan Toraja di Sulawesi Selatan, juga suku-suku lainnya di Indonesia, namun yang membedakan adalah sanksi adat yang diterapkan pada pelaku silariang. Tidak sedikit pelaku silariang, bak itu laki-laki maupun perempuan mati di ujung badik yang dilakukan oleh pihak keluarga perempuan yang disebut Tumasiri.
Banyak factor orang melakukan silariang. Utamanya bagi muda mudi, diantaranya, pihak keluarga tidak merestui hubungan mereka berdua, mungkin karena adanya perbedaan strata sosial atau karena wanita yang menjadi kekasihnya itu hamil diluar nikah. Dalam kondisi demikian, mereka mengambil jalan pintas dengan melakukan silariang, walau harus berhadapan dengan resiko yang mungkin timbul padanya.

Penegakan siri bagi suku Makassar itu memang suatu keharusan. Tujuannya adalah, agar anak-anak mereka tidak larut dalam pergaulan bebas, seperti yang banyak terjadi di era modern ini. Para orang tua menginginkan, anaknya bisa kawin sesuai yang diinginkan oleh agama, adat dan peraturan pemerintah.
Bila ada orang tua atau angota keluarganya melihat anaknya melakukan silariang, tanpa mereka mengambil tindakan, padahal perbuatan memalukan itu didepan matanya, maka orang tua atau keluarga yang bersangkutan dicap olehmasyarakat sebagai pengecut yang dalam bahasa Makassar disebut Ballorang atau banci (kawe-kawe).
Walau pelaku kawin silariang ini sangat dibenci oleh pihak keluarga perempuan, karena dianggap merendahkan harga diri dan martabatnya, sebagai akibat perbuatan anaknya, akan tetapi bila mereka sudah ada yang namanya acara berdamai yang dalam bahasa Makassar disebut Abbaji, maka kedua pelaku silariang ini, tadinya sangat dibenci dan nyawanya selalu terancam, maka setelah acara abbaji, sifat benci dari anggota keluarga ini berubah total menjadi penyayang, bahkan kedua pelaku itu diangap sebagai anaknya sendiri.
Seiring dengan penegakan siri na pace bagi suku Bugis Makassar terhadap kasus silariang, kini mengalami pergeseran nilai, terutama di daerah perkotaan yang sudah terkontaminasi dengan budaya luar. Bermesraan bagi muda-mudi tadinya dianggap tabu, kini sudah dianggap biasa-biasa saja, Akibat pergeseran nilai itulah, banyak masyarakat utamanya muda-mudi yang sudah kehilangan harga diri atau siri, perbuatan mereka identik dengan binatang. Terbukti, banyak diantara mereka melakukan hubungan seks diluar nikah alias kumpul kebo. Ini terjadi karena nilai budaya siri’na pacce sudah tidak melekat lagi padanya.
Dalam buku ini juga idbahas berbagai jenis silariang, yakni: Silariang berarti bilamana kedua pelaku silariang itu (laki-laki dan wanita) sepakat untuk kawin lari. NIlariang, yakni, kalau niat untuk kawin lari datangnya dari pihak laki-laki, maka perempuan dalam hal ini dipaksa atau dilakukan dengan tipu daya agar sang perempuan itu mengikuti kemauan si laki-laki itu. Nilari, berarti bilamana kehendak untuk kawin lari datangnya dari pihak perempuan. Pihak perempuan dengan kemauan sendiri lari ke rumah imam atau penghulu, lalu disana mereka lalu menunjuk laki-laki yang bertanggung jawab atas kehamilannya. Keempat adalah salimara berarti, suatu hubungan perkawinan yang sangat terlarang, karena hubungan darah terlalu dekat, misalnya antara ayah dengan anak gadisnya, antara sesame bersaudara sekandung, kalau ini terjadi maka kedua pelakunya ditenggelamkan di sungai dengan cara mengikatkan batu pada pelaku . Ini yang disebut Niladung.

1 komentar: